Archive for Oktober 9, 2010

Gender dan Feminisme   Leave a comment

Ada pepatah yang mengatakan “ dibalik pria yang sukses, terdapat wanita yang hebat”. Pepatah diatas memang seolah-olah mengagungkan keberadaan perempuan yang bisa mempengaruhi jalan hidup dan sukses tidaknya seorang pria, namun dari yang perlu digaris bawahi adalah peran mereka (perempuan) dalam mempengaruhi ini hanya sebatas dibalik layar, dan tidak perlu tampil secara langsung di arena yang hanya berisikan kaum pria. Sudah sejak dahulu kala perempuan diabaikan dan dipinggiran dari segala sesuatu yang berbau ‘high politics’, bagi tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles, diikuti oleh St. Agustinus dan Thomas Aquinas pada Abad Pertengahan, hingga John Locke, Rousseau dan Nietzsche di awal abad modern, citra dan kedudukan perempuan tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki. Wanita disamakan dengan budak dan anak-anak, dianggap lemah fisik maupun akalnya. Paderi-paderi Gereja menuding perempuan sebagai pembawa sial dan sumber malapetaka, biang-keladi kejatuhan Adam dari sorga, bahkan studi HI sebagai suatu disiplin tidak terpisah dari praktik pemisahan gender dan realitas hierarki gender: perempuan dan kaum feminis telah disingkirkan dari teori HI seperti halnya mereka disingkirkan dari praktek panggung politik  Pada umumnya dipercaya bahwa posisi perempuan berada diluar wilayah studi HI karena perempuan dipandang tidak relevan hubungan antar-negara, dan pada akhirnya perempuan selalu saja dikaitkan dengan ranah pribadi ke-domestik-an, moralitas, subjektifitas, gairah, ke-feminim-an yang bukan merupakan lapangan kajian HI. kata ‘internasional’ dalam disiplin HI dicirikan sebagai suatu bentuk ‘politik tingkat tinggi’ antar negara yang impersonal dan beresiko. Dan ‘tindakan negara atau lebih tepatnya tindakan laki-laki untuk negara’ telah memberi dominasi atas sebuah ‘hubungan’ (Burchiil & Linklater, 2009, p. 281-284). Hal-hal diataslah yang merupakan fokus serangan dan argumen yang digunakan kaum feminis dalam memandang dunia yang selama ini telah didominasi pria. Sejatinya yang dikritik oleh feminisme bukanlah jenis kelamin ‘pria’ namun lebih pada perbedaan gender antara pria dan wanita.

Perspektif feminisme sebanarnya sangat umum, tidak ada satu feminisme, dan tidak ada satu pendekatan tunggal dalam mengkonstruksikan feminisme, alih-alih ada banyak macam feminisme yang diliputi kontradiksi dan tumpang tindih mengenai posisi, kajian serta praktiknya. Ada feminisme konservatif, feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme sosialis, feminisme radikal, eko-feminism, feminisme kultural, feminisme lesbian, feminisme perempuan Dunia Ketiga, feminisme standpoint, feminisme posmodernisme, feminisme poskolonial, dan lain sebagainya (Burchiil & Linklater, 2009, p. 283). Namun secara singkat ada beberapa titik penting dari perspektif feminisme yaitu (1) menggunakan gender sebagai suatu kategori utama dari analisis; (2) menganggap gender sebagai sebuah jenis hubungan kekuasaan tertentu; (3) mencermati penggolongan publik-privat sebagai isu utama dalam pemahaman kita tentang hubungan internasional; (4) menelusuri cara-cara dimana  ide-ide tentang gender dapat menjadi sesuatu yang sangat bernilai bagi usaha untuk memfungsikan lembaga-lembaga internasional utama; (5) menyarankan agar gender diletakkan dalam tatanan internasional; dan (6) menentang asumsi-asumsi dominan yang membagi antara yang penting- tidak penting, atau apa yang marjinal atau sentral dalam hubungan internasional  (Steans & Pettiford, 2009, p. 325).  singkanya feminisme berasumsi bahwa sifat dasar manusia merupakan sesuatu yang berubah, lebih lanjuta lagi Wendy Broun mengatakan bahwa semua dalam dunia manusia merupakan konstruksi yang ter-gender-kan. Gender yang dimaksud disini adalah hubungan antara jenis kelamin  disuatu kelompok masyarakat atau budaya dimanapun, dan gender ditentukan secara sosial dan budaya, tidak sama dengan jenis kelamin yang merupakan karakter biologis yang kodrati (Steans & Pettiford, 2009, p. 322). Gender terbentuk melalui konstruksi sosial asimetris maskulinitas dan feminitas. Maskulinitas sendiri selalu dikaitkan dengan rasionalitas, kekuatan, otonomi, kedaulatan serta diberi nilai dan status yang lebih tinggi dari feminitas yang selalu dihubung-hubungkan dengan emosionalitas,kelemahan, dan subjektifitas. Pandangan seperti ini menempatkan pria dan wanita dalam posisi binary, jika ingin menjadi maskulin maka tinggalkan segala sifat feminin yang ada. Kaum feminis menganggap bahwa selama ini teori dan praktik yang ada di HI yang selalu menggaung-gaungkan istilah keamanan, anarki, perang, perdamaian, konflik serta kerjasama merupakan aktifitas gender dan tidak terlepas dari nilai-nilai maskulinitas laki-laki (Jackson & Sorensen, 2009, p. 333). Dan kaum feminis (terutama liberal) ingin mengkonstruksi ulang pandangan mengenai gender itu sendiri dan meningkatkan status perempuan di mata dunia. Mereka megataakan bahwa perempuan, seperti halnya laki-laki adalah juga makhluk yang rasional sehingga mempunyai hak untuk ikut serta dalam kehidupan publik (memberikan sumbangan pada perdebatan tentang isu-isu politik, sosial, dan moral), berpartisipasi aktif dalam membentuk tatanan politik serta mendapatkan akses pada kekuasaan daripada sebagai makhluk yang terkurung dalam ruang privat di rumah dan keluarga, dan praktek politik internasional nyata telah mengalami kerugian karena mengabaikan perspektif feminis. Pada intinya tuntutan kaum feminis adalah perempuan seharusnya memiliki akses yang sama seperti laki-laki pada kesempatan politik, ekonomi dan pendidikan.

Untuk mencapai keamanan kaum feminis liberal menekankan nilai penting dari tidak hanya hak-hak sipil dan politik, tetapi juga hal-hak ekonomi dan sosial, serta hak asasi perempuan harus diakui sebgai hal utama untuk mencapai keamanan dalam arti yang sebenar-benarnya. Mereka juga mengatakan bahwa tingkatan orang merasa atau benar-benar sedang ‘terancam’ sangatlah beragam sesuai dengan lingkungan ekonomi, sosial, atau personal mereka. Keamanan dan kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh serangkaian faktor, missal stabilitas perekonomian global, tekanan politik, etnisitas dan lain sebagainya (Steans & Pettiford, 2009, p. 362).  wacana-wacana feminis tentang perdamaian menekankan keterhubungan manusia, dialog-dialog, dan kerjasama atas dominasi dan konfrontasi kekerasan.

Seiring dengan berjalannya waktu dan arus globalisasi yang makin meluas di dunia ini, menyebabkan batas-batas wilayah kenegaraan semakin kabur, dan dari perspektif feminis sekarang sesuatu yang privat tidak hanya bersifat publik, tetapi kini makin juga bersifat global  (Steans & Pettiford, 2009, p. 352). dalm perspektif feminis keadaan seperti sekarang ini tentu mau tidak mau dalam hubungan internasional tidak hanya aktor negara saja yang ikut berkecimpung dalam hubungan internasional melainkan banyak aktor-aktor yang ikut berpartisipasi membentuk tatanan masyarakat global dan sistem internasional, misal NGO, MNC. Bahkan yang lebih ekstrim keadaan rumah tangga seorang presiden dapat mempengaruhi indeks saham yang ada. Menurut Cyntia Enloe  (dalam Jackson & Sorensen, 2009, p. 335) salah satu penyebab kehancuran rezim komunis dan berakhirnya Perang Dunia II adalah penarikan mundur dukungan ibu-ibu bangsa Rusia untuk tentara Uni Soviet sebagai akibat perang di Afghanistan, dari contoh ini terlihat jelas bagaimana pluralisnya aktor yang ada dalam hubungan internasional.

Sources :

Burchiil, S., & Linklater, A. (2009). Teori-teori Hubungan Internasional. Bandung : Nusamedia.

Jackson, R., & Sorensen, G. (2009). Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Steans, J., & Pettiford, L. (2009). Hubungan Internasional : Perspektif dan tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Posted Oktober 9, 2010 by moze in all about International Relations Theory

Neo-Liberalisme Vs Neo-Realisme   Leave a comment

Berakhirnya Great Debate pertama antara Liberalis dan Realis dengan kemenangan di pihak kaum realis yang dibuktikan dengan gagalnya Liga Bangsa-Bangsa dalam membangun iklim yang aman bagi dunia dan tercetusnya Perang Dunia II tenyata tidak lantas mengakhiri perdebatan itu sendiri. Setelah sempat dipengaruhi oleh teori behavioralis, keduanya muncul lagi dalam bentuk yang baru yakni Neo-Liberalis dan Neo-Realis. Perdebatan antara generasi Neo ini merupakan turunan dari perdebatan sebelumnya (progany atau off spring) namun perdebatan yang terjadi tidak menyinggung permasalahan prinsipil seperti perdebatan antara liberalis dan realis sebelumnya. Yang membuatnya berbeda selain sudut pandang (asumsi) yang melihat ke ‘luar negara’ (general overview) juga pada vocal point yang diperdebatkan, seperti signifikansi non-state actor, power, institusi internasional, absolute gain, state priority, cooperation serta survivalence.

Neo-Liberalis

Teori Neoliberalisme mulai muncul pada kurun waktu 1980-an dan membangun eksistensinya melalui asumsi bahwa manusia sebagai makhluk ekonomi (homo oeconomicus) serta memandang melalui kacamata pendekatan ekonomi, artinya semua tingkah laku manusia sangat dipengaruhi oleh ekonomi. begitu pula negara, jika keadaan ekonomi sebuah negara dikatakan tercukupi, maka kemungkinan negara tersebut untuk melakukan perang dapat diminimalisasi. Neo-liberalisme juga membangun asumsi bahwa negara perlu mengembangkan strategi-strategi dan forum-forum bagi kerjasama meliputi seluruh rangkaian isu dan wilayah-wilayah baru  (Steans & Pettiford, 2009:130). Neoliberal menekankan kepada ekonomi politik dan fokus kepada permasalahan kerjasama dan institusi internasional untuk mencapai keamanan dunia. Neo-liberalis juga mempertimbangkan bahwa semua negara menginginkan keuntungan dari absolute gains yang dihasilkan dari usaha-usaha perjanjian dan kerja sama internasional

Menurut Anjrah Lelono Broto, S.Pd (www.kompasiana.com) pengandaian manusia sebagai homo oeconomicus direntang luas untuk diterapkan pada semua dimensi hidup manusia. Pada gilirannya, perspektif oeconomicus itu direntang untuk menjadi prinsip pengorganisasian seluruh masyarakat. Dalam visi neoliberal tiap orang atau perusahaan bertanggung jawab atas diri sendiri untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Jadi menurut mereka cara untuk membangun perdamaian dunia adalah dari segi ekonomi. Serta mereka ingin adanya interdependensi negara-satu dengan negara lainnya atau negara dengan aktor seperti perusahaan internasional atau institusi-institusi internasional dalam hubungan internasional. Kaum neoliberalisme sangat percaya bahwa peran pemerintah harus dibatasi, dan membiarkan pasar berjalan apa adanya. Selain itu kaum neo-liberal memandang institusi  sebagai pemeran utama dalam menengahi dan memecahkan konflik  (Steans & Pettiford, 2009:141)

Neo-Realis

Pelopor dari pemikir ini adalah Kenneth Waltz (1979). Dalam pandangannya teori HI yang terbaik adalah yang memfokuskan pada struktur sistem, unit-unit yang berinteraksi, kesinambungan dan perubahan sistem. Neorealis sering juga disebut ‘Realisme struktural’ yang berasumsi bahwa manusia terdiri dari beberapa struktur sistemis yang bekerja sama, begitupula dengan negara yang seharusnya dilihat dari segala aspek strukturalnya bukan hanya aspek kekuasaan atau politik saja.  Dengan menggambarkan sistem politik internasional secara keseluruhan, dengan derajat struktural dan unit yang berbeda dan berhubungan pada waktu bersamaan, neorealisme mewujudkan otonomi politik internasional. Teori ini berupaya menyangkal pernyataan bahwa adalah mungkin untuk memperkirakan kondisi politik internasional dari komposisi internal negara (Waltz dalam Burchiil & Linklater, 2009:115). Struktur internal negara sangat tidak relevan bagi sikap internasional mereka. Apa yang penting adalah posisi negara dalam susunan kekuatan global. Contoh AS dan Uni Soviet mempunyai perbedaan yang mendasar mengenai pandangan politik maupun sosialnya, namun sikap mereka pada saat perang dingin benar-benar sama. Sama-sama mencari kekuasan militer, pengaruh, eksploitasi wilayah dll.

Paham neorealis menekankan pentingnya struktur dan meremehkan potensi negara untuk mengubah sistem internasional. Neorealisme mengimplikasikan bahwa, dalam bentuknya yang sekarang, negara bangsa adalah perangkat permanen dalam sistem internasional. Dan, selalu ada kecenderungan untuk ‘tidak stabil‘ dalam sistem internasional, namun hal ini bisa dicegah jika negara ‘dominan‘ memainkan peran kepemimpinan atau hegemonis ( Charles Kindleberger dalam Steans & Pettiford, 2009:77). Neo realis juga berfikir bahwa pengaruh anarki internasional dapat dikurangi atau diringankan dengan keberadaan institusi dan juga cenderung berfikir bahwa masalah kemanan adalah yang realisme terutama bagi Negara dan sangat memperhatikan isu kepentingan nasional. Selain itu mereka lebih menekankan kepada studi keamanan dan fokus pada power dan survival. Berbeda dengan Neo-Liberalis, Neo-realis menjelaskan bahwa semua negara harus dikaitkan dengan relative gains yang dihasilkan dari usaha-usaha perjanjian dan kerja sama internasional.

Kesimpulan

Selain itu dalam perdebatan Neo-Neo ini yang terjadi bukanlah intersection (pemisahan) namun pendekatan (saling mengakomodir). Bahkan terdapat asimilasi atau perkawinan antar varian dalam Neo-liberalis dan Neo-Realis. Disini dicontohkan tentang Teori Hegemonic Stability dalam teori tersebut ada unsur dari Liberalis yang dibawa yaitu nilai-nilai demokrasi dan perdagangan bebas, sedangkan unsur yang dibawa oleh realis adalah kenyataan bahwa adanya kebutuhan untuk menjadi hegemon. Pandangan Neo-Liberalis dan Neo-Realis juga berbeda dengan realis dan liberalis klasik, jika mereka memandang suatu kasus dari faktor internal aktor, maka Neo-liberalis dan Neo-Realis memandang segala tindakan yang dilakukan oleh negara merupakan existing structure (reaksi negara sama saja terhadap sistem anarki dunia internasional) (Dugis 2010)

Jadi, terlepas dari segala perbedaan pandangan dalam beberapa hal, Neo-Liberalis dan Neo-Realis sama-sama menekankan struktur dalam sistem internasional, organisasi internasional merupakan hal yang mutlak bagi kerjasama namun keberadaannya sangat bergantung kepada negara.

Sources :

Broto, A. L. (2009, July 26). umum : Neolib, Esensi dan Visi: Tinjauan “A Brief History of Neoliberalism” David Harvey. Retrieved Maret 30, 2010, from Kompasiana sharing.connecting: http://www.kompasiana.com

Burchiil, S., & Linklater, A. (2009). Teori-teori Hubungan Internasional. Bandung : Nusamedia.

 

Dugis, V. (2010) ‘Neo-liberalis Vs Neo-realis, lecture notes distributed in the topic COMM5610 Teori Hubungan Internasional.Airlangga University on 16 April 2010

 

Steans, J., & Pettiford, L. (2009). Hubungan Internasional : Perspektif dan tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Posted Oktober 9, 2010 by moze in all about International Relations Theory

Konstruktivisme   Leave a comment

Pada dasarnya teori dibentuk untuk mempermudah manusia dalam memahami realitas dari sebuah fenomena yang tengah dihadapi sehingga mampu menyikapi fenomena tersebut dengan tepat. Merupakan tugas teori hubungan internasional untuk mengungkapkan dan menjelaskan segala fenomena yang terjadi dan berkaitan dengan hubungan internasional itu sendiri, misal Perang Dunia I & II, runtuhnya rezim Uni Soviet, Globalisasi dan lain sebagainya. Namun ketika teori-teori yang ada tidak lagi mampu menjelaskan fenomena tersebut, maka teori tersebut tidak dapat dipakai dan butuh teori lain untuk menjelaskan fenomena tersebut. Disini kostruktivisme hadir untuk melakukan kritik (antitesis) terhadap positivisme hubungan internasional. Orang pertama yang memperkenalkannya dalam HI adalah Nicholas Onuf dengan tulisannya yang berjudul ‘World Our Making‘ pada tahun 1989 dan kemudian dilanjutkan oleh Alexander Wendt pada tahun 1992 dengan karyanya ‘Anarchy Is What States Makes of It‘ (Poerbasari, 2009, p. 178). Secara singkat ada empat kelemahan  positivisme yang dikritik konstruktivis, yaitu (1) mengenai fakta pendukung teori, dia berpendapat bahwa fakta ‘hanyalah‘ sejauh fakta, bilamana ia berada dalam kerangka teoritis. Realitas hanya ada dalam mental/konstruk yang berpikir tentang realitas tersebut; (2) menyangkut aspek determinatif sebuah teori konstruktivisme berkata suatu teori tidak dapat diuji secara universal karena adanya masalah yang muncul dari metode induksi. Teori yang dihasilkan hanya menjelaskan fakta-fakta sejauh yang didapat saja yang kemudian memungkinkan adanya konstruksi dimana suatu realitas dilihat melalui bingkai teori, baik secara implisit atau eksplisit; (3) mengenai nilai-nilai pendukung beragam fakta yang dikatakan kaum positivis bahwa kegiatan ilmiah adalah kegiatan yang bebas nilai, konstruktivisme berargumen bahwa jika realitas hanya dapat dijelaskan dari bingkai teori, maka sama halnya dengan melihat melalui bingkai nilai-nilai dan hal ini memungkinkan munculnya konstruksi; (4) menyangkut interaksi antara subjek dan objek, konstruktivisme sangat yakin bahwa suatu objektivitas tidak akan tercapai karena penelitian ilmiah selalu merupakan hasil interaksi antara keduanya (Poerbasari, 2009, p. 174)

Syarat utama dari suatu pengetahuan agar dapat disebut ‘ilmu pengetahuan‘ berdasarkan paradigma umu ilmu pengetahuan adalah dia harus mampu menjawab tiga pokok pertanyaan yakni ontologi, epistemologi, dan metodologi. Pertanyaan ontologi menyangkut hakikat realitas. Pertanyaan epistemologi menyangkut hubungan antara pengamat, peneliti atau penahu (knower) dengan objek yang diteliti (the known). Selanjutnya pertanyaan metodologi terkait dengan cara, langkah, proses, atau bagaimana pengamat (knower) membangun pengetahuannya. Asumsi dasar dari konstruktivisme mengenai tiga hal diatas adalah; dari sudut ontologi, diasumsikan jika banyak interpretasi dapat diajukan untuk suatu realitas (objek pengamatan) dan jika tidak dapat ditentukan adanya suatu kebenaran tertinggi atau falsifikasi terhadap konstruksi tersebut, maka tidak ada jalan lain kecuali mengambil relativisme sebagai suatu posisi. Dunia sosial, termasuk hubungan internasional merupakan suatu konstruksi manusia (Jackson & Sorensen, 2009, p. 307). Serta merupakan wilayah intersubjektif (dibuat atau dibentuk oleh masyarakat pada waktu dan tempat tertentu) oleh karena itu realitas bercorak plural dan realitas itu sendiri berada di pikiran masing-masing orang. Perbedaan diakui sehingga memungkinkan lahirnya konstruksi-konstruksi baru agar memperoleh pemahaman yang mendalam atas realitas. Secara epistemologi konstruktivisme menempatkan diri pada posisis subjektivis sebagai sarana untuk membangun suatu konstruksi, dan dunia pengetahuan ada di dalam konstruksi sosial. Pengamat tidak pernah berada dalam posisi netral, karena ide dan peristiwa bukanlah fenomena yang independen. Dengan demikian mereka mengaggap interaksi subjektif adalah satu-satunya cara untuk dapat mengakses ‘realitas‘ tersebut (Poerbasari, 2009, p. 175). Mereka juga berkata bahwa dunia sosial bukanlah sesuatu yang ‘given‘ dan berada ‘diluar sana‘ yang hukum-hukumnya dapat ditemukan melalui penelitian ilmiah dan dijelaskan melalui teori ilmiah seperti yang dikatakan kaum positivis dan behavioralis. Tidak ada ‘realitas objektif diluar sana‘ yang ada hanyalah subjektif-subjektif masyarakat. Adapun masalah-masalah historis, hukum dan moral politik dunia tidak dapat diterjemahkan ke dalam istilah pengetahuan tanpa salah memahami mereka. Pada intinya letak perdebatan epistemologi positivis dan konstuktivis adalah tentang menjelaskan dunia secara ilmiah atau memahami dunia tersebut. Selanjutnya dari sisi metodologi, pada mulanya kaum konstruktivis mengidentifikasi berbagai konstruksi yang ada, kemudian melalui metode hermeneutika dan dialektika konsensus-pun  akan tercapai. Dan pada akhirnya istilah-istilah yang dihasilkannya lebih merupakan konsensus (Poerbasari, 2009, p. 175). Jadi konstruktivisme tidak bertujuan untuk menghasilkan pengetahuan yang dapat digunakan untuk memprediksi, mengontrol, dan mentransformasi dunia ‘riil‘, melainkan merekonstruksi dan mentransformasi ‘dunia pikiran‘ bukan dunia ‘riil‘. Jika demikian adanya maka kita dapat mengakumulasikan pengetahuan tentang dunia. Adapun realitas hubungan internasional, merupakan konstruksi sosial dan bukan material. Dengan demikian konsep-konsep dalam sistem internasional pun dapat direproduksi dan direkonseptualisasi. Dan, salah satu kritik kaum konstruktivis terhadap neorealisme adalah konsep ‘anarki‘ yang menurutnya merupakan apa yang dibuat negara darinya, oleh karena itu tidak ada satupun di dunia ini yang tidak dapat dihindari atau tidak dapat diubah tentang politik dunia.

Kaum konstruktivis pada hakekatnya selalu menekankan peran pemikiran, pengetahuan bersama atas dunia sosial (Wendt dalam Jackson & Sorensen, 2009, p. 308). Sebagai contoh, dilema keamanan yang terjadi diantara negara-negara bukan hanya dibuat dari fakta bahwa dua negara berdaulat memilki senjata nuklir, ia juga tergantung pada bagaimana negara-negara tersebut memandang satu sama lain. Contoh konkritnya adalah jika negara Inggris mempunyai 700 buah senjata nuklir, hal tersebut tentu tidak akan begitu merisaukan dan mengancam Amerika Serikat, lain halnya jika yang memiliki nuklir tersebut negara Korea Utara, bahkan walaupun cuma 7 buah saja, Amerika pasti akan langsung kalang kabut dan merasa terancam. Pemikiran seperti ini ada karena Inggris merupakan teman Amerika Serikat sedangkan Korea Utara bukan. Dan disini persahabatan dan permusuhan adalah fungsi dari pemahaman bersama.

Selain hadir sebagai kritik terhadap positivis, konstruktivisme juga berusaha untuk menjadi jembatan penghubung (penengah) antara positivisme dan pospositivisme. Ada keadaan dimana konstruktivisme setuju dengan kaum positivis bahwa kita dapat membangun teori-teori empiris yang mampu menjelaskan apa yang sedang terjadi dalam hubungan internasional. Dan di sisi lain dia juga menekankan pentingnya pemikiran dan pengetahuan bersama yang diusung kaum pospositivis, seperti menganalisis pengalaman subjektif dan penilaian atas aktor-aktor penting dalam politik dunia (Jackson & Sorensen, 2009, p. 309). Konstruktivisme berusaha untuk menghindari posisi paling ekstrim objektivis (murni naturalis: dunia sosial hubungan internasional pada dasarnya merupakan suatu benda, objek, diluar sana dan secara luas dibentuk oleh struktur material sistem internasional) dan posisi paling ekstrim subjektifis (murni idealis: dunia sosial hubungan internasional pada dasarnya merupakan pemikiran atau konsep bahwa masyarakat berbagi tentang bagaimana mereka seharusnya mengatur dirinya dan berhubungan satu sama lain secara politis; ia dibentuk melalui bahasa, pikiran-pikiran dan konsep-konsep). Dengan demikian kaum konstruktivis berpendapat bahwa pilihan antara faktor-faktor dan pemikiran-pemikiran material bukan ini/itu (either/or) tetapi baik/maupun (both/and) (Jackson & Sorensen, 2009, p. 310).

Sources :

Jackson, R., & Sorensen, G. (2009). Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Poerbasari, A. S. (2009). Mendekati Hubungan Internasional dengan Konstruktivisme Onuf. In Asruddin, & M. J. Suryana, Refleksi Teori Hubungan Internasional dari Tradisional ke Kontemporer (pp. 171-190). Yogyakarta: Graha Ilmu.

 

Posted Oktober 9, 2010 by moze in all about International Relations Theory

English School   Leave a comment

Pasca Great Debate II yang seolah-olah menempatkan kaum behavioralis sebagai pemenang, yang kemudian dibuktikan dengan kemunculan debat selanjutnya antara Neo-realis, Neo-liberal dan Neo-marxis. Dalam perdebatan ketiga perspektif neo tersebut, terlihat sangat jelas sekali pengaruh behavioralis dalam tiap-tiap perspektif yang ada, yang kesemuanya baik secara langsung maupun tidak langsung mengusung tema ‘struktural’ dan ilmiah dalam perkembangannya. Namun yang tidak boleh dilewatkan adalah adanya salah satu perspektif yang ikut andil dalam perdebatan tersebut dengan prinsipnya yang menentang teori ‘bebas nilai’ bagi ilmu sosial yang dibawa kaum behavioralis, yaitu English School atau lebih dikenal dengan Rasionalisme yang dibawa oleh Martin Wight dan Masyarakat Internasional yang dicetuskan Hedley Bull. Padahal dalam English School sendiri ada banyak aliran, dan baik Rasionalisme dan Masyarakat Internasional merupakan salah satu yang paling berpengaruh diantara teori English School lainnya. Namun, diantara beberapa teoritisi ini ada persamaan yang mendasar yaitu tetap mempertahankan pendekatan tradisional yang berdasarkan pada pemahaman,  penilaian, norma-norma, dan sejarah manusia dalam memahami hubungan internasional. (Jackson & Sorensen, 2009:70). Menurut pandangan ini, Hubungan Internasional secara keseluruhan merupakan bidang yang mencakup hubungan antar manusia, oleh karena itu selalu mengandung nilai. Tidak pernah ada jawaban ilmiah yang bebas nilai dalam kehidupan manusia karena setiap jawaban akan dipengaruhi oleh situasi dan dengan demikian pada dasarnya akan selalu bercirikan sejarah.

Asumsi dasar dari English School ini adalah : (1) Bahwa hubungan internasional adalah cabang dari hubungan manusia yang pada intinya merupakan nilai-nilai dasar seperti kemerdekaan, keamanan, ketertiban dan keadilan ; (2) Pendekatan yang digunakan berfokus pada manusia : penstudi HI diminta menginterpretasikan pemikiran-pemikiran dan aksi-aksi dari masyarakat yang timbul dalam hubungan internasional ; (3) Penerimaan premis anarki internasional  (Jackson & Sorensen, 2009 :181). Inti pendekatan yang dipakai oleh perspektif ini adalah menganalogkan negara sebagai manusia yang hidup dalam masyarakat Internasional dan hubungan internasional merupakan interaksi antara ‘masyarakat’ negara-negara berdaulat. Lebih lanjut lagi seperti yang dikatakan Wight tentang konsep ‘masyarakat negara (society of state). Sebuah ‘masyarakat negara’ ada ketika sekelompok negara, sadar akan adanya kepentingan dan nilai-nilai umum tertentu, membentuk suatu masyarakat dalam artian bahwa mereka menempatkan diri mereka sendiri sehingga terikat oleh serangkaian peraturan umum dalam hubungan mereka dengan yang lain, dan bekerja bersama-sama dalam lembaga-lembaga umum (Burchiil & Linklater, 2009:131). Dari keterangan diatas dapat dikatakan pula bahwa English School merupakan ‘via media’ atau penghubung antara realisme dan liberalisme. Teori ini berusaha merangkai dan membuat teorinya sendiri dengan mengambil dan memasukkan unsur-unsur yang positif dari realisme dan liberalisme. Menurut mereka jika ada konflik pasti juga ada kerjasama, ada negara juga ada individu, ada kekuatan ada hukum dan unsur-unsur ini tidak bisa dipisahkan dan disederhanakan kedalam suatu teori tunggal yang hanya menekankan salah satu elemen. Masing-masing teori tidaklah lengkap karena hanya mencakup salah satu aspek dan dimensi hubungan internasional. Mereka menolak pandangan pesimis kaum realis tentang negara sebagai organisasi politik yang berhubungan dengan negara lain hanya berdasarkan kepentingan mereka, dan cenderung pada perselisihan dan konflik. Namun mereka mengakui bahwa memang terdapat anarki internasional dalam arti tidak ada pemerintahan dunia, tapi anarki internasional merupakan suatu kondisi sosial bukan anti-sosial : yaitu politik dunia adalah suatu ‘masyarakat anarkis’ (Bull dalam Jackson & Sorensen, 2009 :70). Adapun pandangan yang ditolak teori English School adalah optimisme kaum liberal klasik tentang hubungan internasional sebagai komunitas dunia yang berkembang dan kondusif bagi kemajuan manusia dan perdamaian abadi yang tidak terbatas. Mereka mengakui adanya organisasi internasional, organisasi non-pemerintah, perusahaan multinasional, organisasi antarpemerintah dan lainnya namun menurut mereka semua organisasi itu berada di bawah kedaulatan negara dan merupakan bentuk pinggiran daripada bentuk utama politik dunia (Jackson & Sorensen, 2009 :184).

Dengan demikian menurut mereka ketertiban dunia ini dapat dicapai bila disandarkan pada keseimbangan norma-norma universal, terutama budaya dan kepentingan. Namun yang perlu dicatat dari perspektif English School ini adalah aturan dan norma yang berlaku tidak mutlak dan tidak dapat dengan sendirinya menjamin harmoni dan kerjasama internasional.

Ada empat kunci yang ditekankan dalam tradisi English School, pertama : pemikiran operatif terkemuka yang terlihat membentuk pemikiran, kebijakan, dan aktivitas dari rakyat yang terlibat dalam hubungan internasional ; kedua : dialog antar pemikiran, nilai, dan keyakinan terkemuka yang turut berperan dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri ; ketiga : dimensi sejarah dari hubungan internasional ; keempat : aspek normatif hubungan internasional seperti yang tertera jelas dalam sejarah, mengabaikan aspek ini berarti gagal memahami karakter manusia dimana negara diumpamakan seperti manusia. Yang menurut paham Rasionalisme negara seperti halnya manusia harus memfokuskan diri pada bagaimana negara mempelajari seni mengakomodasikan kepentingannya kepada yang lain dan menciptakan tatanan sipil bahkan dalam kondisi anarkis. Tatanan tersebut tergantung dari keseimbangan norma-norma universal dan kultur serta kepentingan tertentu masing-masing bangsa. Tatanan antar bangsa sifatnya tidak absolut, karena tatanan sesuai dengan sifat dasar manusia dan selalu berubah seiring dengan perubahan iklim politik dunia (Burchiil & Linklater, 2009:154).

Ada beberapa kritik yang dilancarkan  terhadap English School, terutama oleh kaum realis, liberalis dan EPI. Kaum realis berkata bahwa tidak ada bukti yang dapat menunjukkan bahwa dalam mengatur kebijakan yang diambilnya, baik kebijakan dalam dan luar negeri negara berpegang teguh atau dipengaruhi oleh norma internasional. Kalaupun suatu negara terikat dengan beberapa aturan bersama itu hanya dikarenakan adanya keuntungan dan kepentingan dalam melakukan hal tersebut. Kemudian disusul kritik kaum liberalis tentang pengabaian faktor politik domestik sebuah negara oleh tradisi English School danketidakmampuannya dalam menjelaskan perubahan progresif dalam politik internasional. Selanjutnya kritik dari golongan EPI yang mengatakan bahwa English School terlalu menekankan politik sehingga mengabaikan aspek ekonomi dan kelas sosial dalam hubungan internasional. Selain itu kritik dari ‘masyarakat global’ yang tidak setuju dengan pendekatan English School yang cenderung state-centric yang menganggap negara sebagai aktor ‘yang serupa individu’ dan mengabaikan hubungan sosial kompleks yang mempersatukan individu dengan negara dan buta terhadap keberadaan ‘masyarakat dunia’ yang hidup melalui hubungan sosial yang terlibat dalam produksi dan pertukaran komoditas global, melalui budaya global dan media massa serta melalui peningkatan pembangunan politik dunia. Juga yang paling penting adalah teori tentang masyarakat internasioanal ini telah mengorbankan manusia pada altar negara berdaulat dan menjadi subordinat dan sekunder (Jackson & Sorensen, 2009:215-220).

Sources :

Burchiil, S., & Linklater, A. (2009). Teori-teori Hubungan Internasional. Bandung : Nusamedia.

Jackson, R., & Sorensen, G. (2009). Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Posted Oktober 9, 2010 by moze in all about International Relations Theory